“Kamu tahu kenapa Ali tidak masuk?” Aku bertanya pada Seli.
Seli
mengangkat bahu.
“Bukankah
tadi malam dia menemuimu, memberikan novel itu?”
“Iya memang.
Tapi aku tidak tahu kenapa dia tidak masuk. Lagi pula itu Ali, kan? Dia bisa
saja tidak masuk karena terlalu sibuk di basement
rumahnya. Eksperimen aneh-aneh miliknya.” Seli meneruskan menyendok bakso.
Istirahat pertama,
setelah pelajaran biologi, perutku lapar. Senasib denganku, Seli mengajakku ke
kantin, makan bakso. Sekitar kami ramai oleh celoteh pengunjung kantin. Anak-anak
basket duduk tidak jauh di dekat kami, juga anak-anak kelas dua belas. Satu-dua
anak-anak basket menyapa kami tadi, karena Ali anggota tim basket sekolah. Kami
berdua jadi lebih dikenal oleh senior sekolah, meskipun mereka cuma tahu kami
teman Ali.
“Omong-omong,
Ra.” Seli bicara lebih dulu sebelum aku kembali bertanya.
Aku
menatapnya. “Apa?”
“Kamu jangan
terlalu galak kepada Ali, Ra.”
“Memangnya
kenapa?” aku merasakan sesuatu yang ganjil dari cara Seli bicara.
“Yeah,
maksudku…. Dia kan teman baik kita.” Seli tersenyum penuh arti.
“Terus
kenapa?”
“Dia tidak
semenyebalkan itu kok, Ra. Dia genius, selalu tahu banyak hal. Teman yang baik.
Dan terlepas dari itu.” Seli menahan tawa, “kalau kamu keseringan galak
padanya, lama-lama kamu malah suka sama Ali lho.”
Wajahku
menghangat. Aku hamper saja menimpuk Seli dengan gulungan tisu, menyuruh dia
diam. Tapi mana mau Seli diam. Dia terus menggodaku.
“Lagi pula,
Ali itu sebenarnya sangat perhatian padamu, Ra. Coba lihat novel yang kubaca
tadi pagi.” Seli terus berkata pelan, sengaja menurunkan intonasi suara karena
membahas tentang dunia parallel. “Sejak lama aku meminta Ali mendapatkan novel
itu dari Klan Bulan. Tidak pernah dia iyakan, permintaanku dianggap angin lalu.
Tapi kemarin pagi, saat aku bilang Raib juga ingin membaca novel itu tapi Raib
malu bilang lansung padanya, jadi dia bisa titip saja novelnya padaku,
simsalabim, malamnya novel itu sudah dia berikan kepadaku. Entah bagaimana
caranya dia mendapatkan novel itu langsung dari Kota Tishri.”
Seli tertawa
lebar.
Aku betulan
menimpuk Seli dengan tisu. Tadi apa Seli bilang, hah? Aku baru tahu bahwa aku
dimanfaatkan oleh Seli untuk mendapatkan novel tersebut. Dan, eh, Ali langsung
mencari novel itu karena Seli bilang akulah yang ingin membacanya? Itu serius? Sebegitunya
Ali mau melakukannya karena aku? Aku yakin wajahku semakin memerah seperti
kepiting rebus.
*****
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar