Sabtu, 10 November 2018

EPISODE 2

Hasil gambar untuk gambar novel komet tere liye
Sekolah sudah ramai saat aku tiba. Gerimis tidak membuat murid-murid kehilangan semangat. Beberapa terlihat berkerumun mengobrol seru, tertawa, satu-dua murid duduk di kursi mengerjakan sesuatu—sepertinya PR. Sisanya berdiri sembarang menunggu bel masuk. Aku menyapa dan membalas sapaan saat menuju mejaku.
            “Hei, Ra”
            Seli tersenyum. Dia sudah datang, duduk membaca sesuatu.
            Aku balas tersenyum.
            “Kamu sedang membaca buku apa, Sel?”
            “Mmm...” Seli ragu-ragu menjawab. Dia hendak memasukkan buku itu ke laci meja.
            “Buku apa sih?” Aku lebih dulu melihatnya.
            Seli langsung terdiam. Dia tersenyum lebar.
            “ya ampun!” Mataku langsung melotot. Itu buku yang amat terlarang dibaca oleh Seli di Sekolah. BUMI. Petualangan Antarklan. Buku 1. Cover-nya khas buku-buku petualangan.
            “Seli...” Aku berbisik serius, bergegas duduk di sebelahnya, melihat ke sekeliling, memastikan tidak ada yang menguping atau melihat kami. “Berapa kali aku harus mengingatkan, kita disuruh Av dan Miss Selena untuk merahasiakan banyak hal. Jangan mencolok, Jangan memancing perhatian. Duh, kamu malah membaca buku ini di tengah-tengah murid lain!”
            Aku menatap Seli dengan kesal. Dia seharusnya tahu. Dia jelas bukan Ali yang memang suka cari masalah. Bagaimana mungkin Seli bisa santai membaca buku ini di kelas? Sekarang pula. Seolah tidak ada waktu dan tempat lain.

          
            “Cuma novel, Ra. Mereka tidak akan tahu.” Seli ikut melirik teman-teman di kelas.
            “Ini bukan novel biasa. Ini novel terbitan Klan Bulan. Lihat! Hurufnya memakai huruf Klan Bulan. Jika ada yang melihat dan bertanya, kamu akan jawab apa?” Aku berkata tegas.
            Seli mengangkat bahu. “Aku akan bilang buku ini dari luar negeri.”
            Aku menepuk dahi pelan, tambah melotot. “Mana ada huruf Negara lain yang seperti ini? Dan lihat, kamu membacanya pasti dengan meetakkan lembar tipis penerjemah otomatis Klan Bintang, kan? Benda ini, jika tercecer, ditemukan orang lain, itu akan dianggap milik alien. Tidak ada ilmuwan bumi yang bisa menjelaskan itu benda apa.”
            Seli segera melepas lembar tipis itu. “Maaf, Ra. Aku penasaran soalnya. Semalam bacanya sampai jam dua belas, terus disuruh tidur sama Mama. Tidak sabaran, aku bawa saja ke sekolah—“
            “Dari mana kamu memperoleh novel ini?” Aku memotong penjelasan Seli. Aku yakin sekali apa jawaban yang akan diberikan Seli.
            “Ali,” Gumam Seli
            Aku mendengus. Betul, kan? Si biang kerok itu.
            “Dari mana Ali mendapatkannya?” desakku
            “Ali bilang dia memperolehnya dari kurir dunia paralel.”
            “Kurir dunia paralel?”
            “Iya, Ilo yang mengirimkannya dari Kota Tishri dengan kurir itu. Lantas tadi malam Ali memberikannya kepadaku. Aku memang penasaran dengan novel ini, Ra.”
            Aku mendengus lagi. Dasar Ali sumber masalah. Dia bisa saja membohongi Seli yang mudah percaya, tapi tidak padaku. Tidak ada itu istilah jasa kurir dunia paralel. Mana ada! Memangnya itu seperti jasa transportasi online yang sedang ramai di kota kami? Portal antarklan bahkan hanya bisa dibuka oleh orang-orang tertentu, dengan benda teknologi tingkat tinggi. Ali pasti diam-diam mengunjungi Kota Tishri tanpa aku dan Seli, dan kembali membawa beberapa benda dari sana. Salah satunya novel ini.
            Aku tahu novel ini. Saat petualangan kami di lorong-lorong kuno Klan Bintang, Panglima Pasukan Bayangan yang menemani kami bercerita bahwa kisah kami dituliskan menjadi novel di Kota Tishri.
            Aku masih hendak bertanya satu-dua hal kepada Seli, tapi bel sekolah telah berbunyi. Suaranya nyaring memecah percakapan. Murid-murid segera menuju kursi masing-masing. Guru-guru juga beranjak dari ruang guru menuju kelas.
            “Jangan baca lagi novel itu di sekolah, Seli! Bahkan jika itu buku lanjutan serial ini dan ditunggu-tunggu banyak orang,” bisikku serius
            “Maaf, Ra.” Seli menatapku, masih sambil tersenyum, lalu memasukkan novel ke dalam tas.
            Aku bergegas menoleh ke meja belakang. Sepertinya Ali terlambat lagi, batang hidungnya belum terlihat. Awas saja kalau aku bertemu dengannya. Dia harus dijitak kepalanya.  

*****

Bersambung..
           

            

0 komentar:

Posting Komentar