Sekolah sudah ramai saat aku tiba. Gerimis tidak
membuat murid-murid kehilangan semangat. Beberapa terlihat berkerumun mengobrol
seru, tertawa, satu-dua murid duduk di kursi mengerjakan sesuatu—sepertinya PR.
Sisanya berdiri sembarang menunggu bel masuk. Aku menyapa dan membalas sapaan
saat menuju mejaku.
“Hei,
Ra”
Aku
balas tersenyum.
“Kamu
sedang membaca buku apa, Sel?”
“Mmm...”
Seli ragu-ragu menjawab. Dia hendak memasukkan buku itu ke laci meja.
“Buku
apa sih?” Aku lebih dulu melihatnya.
Seli
langsung terdiam. Dia tersenyum lebar.
“ya
ampun!” Mataku langsung melotot. Itu buku yang amat terlarang dibaca oleh Seli
di Sekolah. BUMI. Petualangan Antarklan. Buku
1. Cover-nya khas buku-buku petualangan.
“Seli...”
Aku berbisik serius, bergegas duduk di sebelahnya, melihat ke sekeliling,
memastikan tidak ada yang menguping atau melihat kami. “Berapa kali aku harus
mengingatkan, kita disuruh Av dan Miss Selena untuk merahasiakan banyak hal. Jangan
mencolok, Jangan memancing perhatian. Duh, kamu malah membaca buku ini di
tengah-tengah murid lain!”
Aku
menatap Seli dengan kesal. Dia seharusnya tahu. Dia jelas bukan Ali yang memang
suka cari masalah. Bagaimana mungkin Seli bisa santai membaca buku ini di
kelas? Sekarang pula. Seolah tidak ada waktu dan tempat lain.
“Cuma novel, Ra. Mereka tidak akan tahu.” Seli ikut melirik teman-teman di kelas.
“Ini
bukan novel biasa. Ini novel terbitan Klan Bulan. Lihat! Hurufnya memakai huruf
Klan Bulan. Jika ada yang melihat dan bertanya, kamu akan jawab apa?” Aku
berkata tegas.
Seli
mengangkat bahu. “Aku akan bilang buku ini dari luar negeri.”
Aku
menepuk dahi pelan, tambah melotot. “Mana ada huruf Negara lain yang seperti
ini? Dan lihat, kamu membacanya pasti dengan meetakkan lembar tipis penerjemah
otomatis Klan Bintang, kan? Benda ini, jika tercecer, ditemukan orang lain, itu
akan dianggap milik alien. Tidak ada ilmuwan bumi yang bisa menjelaskan itu
benda apa.”
Seli
segera melepas lembar tipis itu. “Maaf, Ra. Aku penasaran soalnya. Semalam bacanya
sampai jam dua belas, terus disuruh tidur sama Mama. Tidak sabaran, aku bawa
saja ke sekolah—“
“Dari
mana kamu memperoleh novel ini?” Aku memotong penjelasan Seli. Aku yakin sekali
apa jawaban yang akan diberikan Seli.
“Ali,”
Gumam Seli
Aku
mendengus. Betul, kan? Si biang kerok itu.
“Dari
mana Ali mendapatkannya?” desakku
“Ali
bilang dia memperolehnya dari kurir dunia paralel.”
“Kurir
dunia paralel?”
“Iya,
Ilo yang mengirimkannya dari Kota Tishri dengan kurir itu. Lantas tadi malam
Ali memberikannya kepadaku. Aku memang penasaran dengan novel ini, Ra.”
Aku
mendengus lagi. Dasar Ali sumber masalah. Dia bisa saja membohongi Seli yang
mudah percaya, tapi tidak padaku. Tidak ada itu istilah jasa kurir dunia paralel.
Mana ada! Memangnya itu seperti jasa transportasi online yang sedang ramai di kota kami? Portal antarklan bahkan
hanya bisa dibuka oleh orang-orang tertentu, dengan benda teknologi tingkat
tinggi. Ali pasti diam-diam mengunjungi Kota Tishri tanpa aku dan Seli, dan
kembali membawa beberapa benda dari sana. Salah satunya novel ini.
Aku
tahu novel ini. Saat petualangan kami di lorong-lorong kuno Klan Bintang,
Panglima Pasukan Bayangan yang menemani kami bercerita bahwa kisah kami
dituliskan menjadi novel di Kota Tishri.
Aku
masih hendak bertanya satu-dua hal kepada Seli, tapi bel sekolah telah
berbunyi. Suaranya nyaring memecah percakapan. Murid-murid segera menuju kursi
masing-masing. Guru-guru juga beranjak dari ruang guru menuju kelas.
“Jangan
baca lagi novel itu di sekolah, Seli! Bahkan jika itu buku lanjutan serial ini
dan ditunggu-tunggu banyak orang,” bisikku serius
“Maaf,
Ra.” Seli menatapku, masih sambil tersenyum, lalu memasukkan novel ke dalam
tas.
Aku
bergegas menoleh ke meja belakang. Sepertinya Ali terlambat lagi, batang
hidungnya belum terlihat. Awas saja kalau aku bertemu dengannya. Dia harus
dijitak kepalanya.
*****
Bersambung..
0 komentar:
Posting Komentar