Minggu, 21 Oktober 2018

EPISODE 1



 Hasil gambar untuk gambar novel komet tere liye

       Musim hujan telah datang. Gerimis membungkus pagi, terus turun tak berkesudahan sejak tadi malam. Jendela mobil berembun, udara terasa dingin.
       Aku menguap lebar.
       "Ra, kamu masih mengantuk?" tanya Papa. Sejenak Papa menoleh ke arahku, lalu lanjut menatap ke depan, serius menyetir mobil.

       Aku menggeleng, buru-buru menutup mulutku. Pandanganku tertuju ke luar jendela mobil. Jalanan padat, angkot, bus, mobil-mobil dipenuhi warga kota yang menuju tempat aktivitas. Sepeda motor tak kalah gesit, merangsek di setiap jengkal celah tersisa. Pengemudi dan penumpangnya mengenakan jaket hujan.
       "Kapan kamu ulangan tengah semester?" Papa mencomot sembarang topik percakapan dari langit-langit yang mendung.
       "Sebulan lagi, Pa."
       "Oh, masih lama." Papa mengangguk, kaki kanannya menginjak pedal gas pelan. Mobil kembali maju dalam antrean lampu merah yang telah berubah hijau.
       Aku terus memperhatikan jalanan.
       "Kamu nanti mau kuliah di mana, Ra?"
       Eh? Aku menoleh, menatap wajah Papa.
       "Belum tahu, Pa. Kan masih tahun depan."
       Papa tertawa sambil terus konsentrasi menatap ke depan. "Kamu sudah kelas sebelas lho, Ra. Setahun tuh singkat. Tidak terasa, tahun depan anak perempuan Papa kuliah."
       Aku diam. Ikut menatap ke depan. Beberapa kali sebenarnya aku sudah memikirkan soal itu - karena guru-guru di sekolah juga sering mengingatkan hal itu, agar kami siap sejak sekarang. Aku saat ini memang mengambil jurusan IPA,tapi mungkin kuliah di Fakultas Ilmu Budaya lebih menarik. Aku amat menyukai pelajaran bahasa - satu-satunya pelajaran yang tidak membuat dahiku terlipat.
       "Atau kamu mau satu kampus dengan teman-teman baikmu, Ra?"
       Aku bergumam pelan. Itu juga kupikirkan, mungkin seru jika satu kampus dengan mereka.
       "Seli mungkin akan kuliah di kedokteran. Seperti ibunya, bukan?"
       Aku mengangguk. Ibu Seli pernah bilang bahwa dia berharap Seli juga menjadi dokter.
       "Dan siapa anak cowok temanmu itu? Ah iya, Ali, bukankah dia tahun lalu hampir tidak naik kelas? Anak itu, Papa khawatir dia tidak diterima di kampus mana pun, bahkan di kampus yang kekurangan mahasiswa. Dia tidak memenuhi syarat."
        Aku hampir tertawa mendengar kalimat Papa, tapi buru-buru mengangguk lagi.
        "Kamu harus membantu Ali belajar, Ra. Anak-anak sekarang, seperti Ali itu, tidak memiliki kegigihan belajar sama tingginya dibanding anak-anak zaman dulu."
         "Iya, Pa."
         "Papa dulu juga harus belajar mati-matian agar bisa lulus di kampus yang Papa cita-citakan. Kamu tahu siapa teman baik yang selalu memotivasi Papa?"
         Aku menggeleng, tapi aku sepertinya bisa menebaknya. "Mama?"
         "Iya, mamamu. Dia yang selalu mendorong Papa agar tidak mudah menyerah. Hingga kami akhirnya kuliah di kampus yang sama, meskipun berbeda fakultas. Temanmu Ali itu, tanpa dorongan dari teman- temannya, Papa khawatir dia hanya akan punya masa depan suram."


          Aku sekali lagi ingin tertawa. Masa depan suram? Ali? Sebenarnya aku tidak tahan ingin memberitahu Papa bahwa Ali itu supergenius, bahwa pelajaran di SMA sangat membosankan bagi otak pintar Ali karena dia telah menguasainya sejak SD. Tapi itu hanya akan membuat rumit percakapan. Jadi aku kembali mengangguk.
            Mobil terus melaju di jalanan yang basah. Sekolahku tidak jauh lagi. Suasana di dalam mobil kembali lengang. Tadi pagi, saat aku hendak naik angkot, Mama bilang aku diantar Papa saja. Hujan, nanti aku jatuh sakit. Sekalian Papa berangkat ke kantor.
             "Apakah di dunia lain itu juga ada kampus, Ra?" Papa kembali bicara.
             Aku menoleh. "Kampus?"
             "Iya, kampus. Universitas. Mungkin kamu ingin kuliah di sana." Papa balas menatapku. Lampu lalu lintas menyala merah. "Mendengar ceritamu kepada Mama, dengan seluruh teknologi majunya, kampus mereka tentulah yang terbaik dibanding kota kita. Apalagi dengan petualanganmu setahun terakhir, itu lebih seru lagi."
              Aku masih terdiam - itu tidak ppernah terpikirkan olehku. Tepatnya, aku bahkan tidak menduga Papa tiba-tiba bicara tentang dunia paralel. Selama ini, Seperti menjadi peraturan tidak tertulis di rumah, Papa dan Mama akan mengubah topik pembicaraan setiap kali soal itu dibahas, karena itu akan berakhir dengan kengangan dan pertanyaan serius: Siapa orangtua kandungku? Tapi pagi ini Papa justru memulainya.
               Papa tersenyum lembut.
               "Apa nama kampus terbaik di Klan Bulan, Ra?"
               Aku menelan ludah, baru menjawab, "Akademi Bayangan Tingkat Tinggi."
               "Wow! keren sekali. Apakah mereka punya jurusan teknik, ekonomi, hukum atau kedokteran seperti di dunia kita?"
               Aku menggeleng. Tepatnya aku tidak tahu persis. Aku hanya pernha mendengar nama sekolah itu disebut saat bertualang bersama Ily, putra Ilo dan Vey. Ily adalah lulusan akademi tersebut, tempat petarung terbaik Klan Bulan melankutkan pendidikan formal. Mungkin di sana juga diajarkan pelajaran normal seperti ekonomi, hukum atau teknik mesin, selain teknik bertarung tingkat tinggi, Karena Ily sempat bercita-cita bekerja di sistem transportasi Kota Tishri yang canggih.
                "Kamu mau kuliah di sana?"
                "Belum tahu, Pa."
                "Dulu, saat kuliah, Papa memutuskan pergi merantau jauh ke pulau lain. Orangtua Papa, eyang putrimu, jelas keberatan. Beliau tidak ingin kami sekolah jauh. Usia Papa sudah dewasa, bisa menjaga diri. Maka setelah berpuluh kali dibicarakan, eyang putri akhirnya menyerah. Papa tidak tahu rencanamu, Ra, tapi jika saatnya tiba dan kamu mau kuliah di tempat jauh sekalipun, dunia yang berbeda itu, Papa akan mendukung. Selalu. Mungkin Mama akan keberatan, tapi itu bisa dibicarakan."
                 Aku terdiam, mengangguk lamat-lamat.
                 Lampu Hijau.
                 "Tapi itu masih lama, Ra. Masih satu tahun setengah. Bisa kita bicarakan nanti-nanti. Ah, berat sekali topik percakapan kita pagi ini. Sepertinya gerimis ini membuat Papa jadi sentimental. Anak perempuan Papa ternyata sudah semakin dewasa." Papa tertawa, mobil kembali maju.
*****

Bersambung......

0 komentar:

Posting Komentar